Tuesday, October 13, 2015

KETIKA HUJAN ITU PASTI MENGALIR I


huja
Benar kata orang, jika hujan turun dibukit nan jauh itu, maka airnya pun akan sampai dilembah yang tak bertuan ini. Mendamparkan jutaan hara yang katanya baik untuk membesarkan hati. Atau mungkin hanya akan menambah sesak disetiap sudut tanah kosong tak berpenghuni ini.
Pukul 00 dibulan ke-7 tahun ini, dentang pertama pukulan sang penjaga malam memberikan isyarat untuk segera pergi bertemu peri didunia mimpi, duduk di kaki pelangi atau apapun lah namanya. Tapi sayang pesannya indahya takkan pernah sampai pada jiwa yang tersesat dalam dirinya sendiri.
Ya, jiwa tersesat pada orang orang yang mesih gelisah antar menerima keputusan itu atau tidak. Seperti ada sesuatu yang memaksa hati untuk ikhlas atau tak berdaya untuk menolak.
Dentang kedua berbunyi, lingkaran cahaya putih mulai terlihat menghiasi langit dari sela sela dedaunan. Orang bilang itu adalah cahaya tuhan ditengah kelamnya malam. Dulu aku juga pernah beranggapan begitu. Ketika mata kita masih bertemu disana. Bak kata orang dikampungku “ awan takkan pernah mampu mencuri cahaya tuhan, akan selalu ada semburatan cahayanya yang menembus tebalnya awan menuju gelapnya lembah tak bertuan ini.”
“ cahayanya memang sampai kelembah ini tapi tak pernah sampai ke lubang dalam dihati ini.”
Angin menggoyang pepohonan, bayangan hitam tampak berjalan dari kejauhan. Entah siapa, mungkin hanya para penjaga malam, atau bapak bapak kampung sini yang baru pulang dari lopo kopi di persimpangan sana. “ sudah menjadi kebiasan bagi masyarakat kampung sini, berkumpul diwarung hingga selarut ini, menceritakan banyak hal mulai dari politik, sejarah atau bahkan bernostalgia akan masa mudanya yang penuh dengan harapan.”
“ tak masuk kedalam da ?” sahut salah satu pejalan yang tanpa kusadari telah sampai tepat dijalan depan rumah kami.
“ ntar lagi bang ?”
“ hooo, abang duluan” tambahnya sambil berlalu ditelan gelapnya kampung ini
Dedaunan bergulung jatuh, angin malam kencang ini ternyata mampu mengoyangkan ranting untuk melepas kekasihnya. Atau mungkin daun yang melepas pegangannya, entahlah. Tuhan lebih tau cerita sebenarnya.
Tanpa kusadari sudah 3 kali pohon durian pinggir jalan sana berbuah sejak kuberanikan diri untuk mengungkapkan cinta pada gadis yang berinisial “D” ( de ) itu. Gadis manis mantan teman kelasku dulu saat masih SMA. Gadis tegas yang keras kepala yang telah menundukkan mata ini. Mungkin bagi orang tak yang ada yang super pada dirinya. Tapi entah mengapa tatapan matanya, suaranya, atau mungkin semua tingkahnya selalu membuat organ pemompa darah tubuh ini bekerja terbalik.
Hari ke-18 dibulan terakhir 2013 silam menjadi hari paling berat dalam hidupku, bukan karena panen musim ini tak berhasil, tapin karena gejolak dalam hati tak lagi bisa dibendung. Benar lagi kata orang memelihara harimau berarti harus menyiapkan diri dicabik olehnya. Dan dalam pada hari ini harimau itu telah mencabik hati ini.
Dentang keempat di malam 19 desembernya. Duniapun telah tertidur, hanya suara jangkrik yang masih menyanyikan lagu lagu klasik menemani kegelisahan ini. Entah hantu mana yang memasuki jiwa penakut ini, sebuah ungkapan itu terkirim untuknya. Atau mungkin Tuhan manjawab “yang dengan malu kukatakan” doa doa yang terucap sehabis sholatku.
“ da masuklah, sudah jam berapa ini. Ibu tak mau membangunkanmu terus setiap pagi. Macam mana kau mau berhasil kalo rejekimu dipatok ayam terus..!”
“ Iya bu.”
Itulah ibuku, perempuan yang paling kubanggakan. Meski terkadang kuping ini panas mendengar ceramah ceramahnya tentang filsafat kehidupan. Mungkin jika ia lahir di era Aris Toteles, maka nama Aris Toteles hanya akan diingat anaknya.
Sampai mana tadi kawan, “ oh ya, itu hanya awalan manis yang ternyata berakhir dengan tak sesuai harapan. Kalau saja aku tau aku tau hasil dari kisah ini tak akan seperti serial FTV yang ditonton ibuku, mungkin takkan pernah kulanjutkan kisah ini”
“ da bangun dulu, bantu bapakmu di warung. Kalo ininya kerjaanmu tak usah pulanglah kau kesini” begitu ancaman ibuku yang sedang asik di dapur dengan peralatan masaknya.
“ siap bu “ jawabku dengan mata yang masih berat tapi harus diringan untuk menghindari khutbah singkat pagi ini.
“ anak muda seharusnya bangun pagi, untuk apalah sekolah kau jauh dikota sana kalo bangun pagi pun masih belum lulus” gerutu ibu dari belakang mempercepat langkahku meninggalkan kamar empuk itu.
Sebelum itu kawan, perkenalkan aku adalah mahasiswa Teknik Mesin semester 6 disalah satu Perguruan Tinggi tempat kami. Tak ada yang istimewa memang dengan jurusanku. Kalo kata orang di kampusku Teknik mesin itu adalah kampus kumpualan laki laki yang mungkin berandalan atau mungkin homo
Pagi yang indah untuk dinikmati dengan secangkir teh hangat. Tapi takkan mungkin untuk pagi ini, mata ibu mengawalku dari belakang untuk segera sampai kewarung kecil kami didepan rumah. Maka dengan terpaksa kaki ini melangkah melewati lorong kecil yang disebut orang dengan pintu itu . Tapi tak apalah teman inilah kehidupanku sementara sebelum libur ini selesai.
Sampai diwarung kecil ini, bak aktor papan atas aku langsung ditanyai “ kapan pulang ? ” oleh para pembeli yang rata rata adalah ibu ibu atau gadis gadis yang baru menikah. Satu pertanyaan mungkin akan menyenangkan. Namun menjawab pertanyaan yang sama berulang kali juga cukup membuat dirimu serasa seperti mengajarkan anak kecil belajar membaca. Tapi akan hilangkah tata kramamu jika mengabaikan pertannyaan pembeli.
“ Sombong ya sekarang, pertanyaan uwak gak dijawab” celoteh seorang ibu ibu paruh baya
“ kan tadi sudah dijawab wak” jawabku mencoba seramah mungkin.
Sering kulamunkan dari skala 1 sampai sepuluh seberapa sombongkah diriku hanya karna sulit untuk membuka percakapan dengan orang lain. Terkadang tak semua orang mudah untuk bercakap cakap hanya untuk sekedar basa basi. Tak heran, mungkin hal ini juga yang membuat ku membutuhkan waktu 6 tahun untuk mengungkapkan perasaan ini pada gadis yang berinisial “D” itu.

bersambung.....


EmoticonEmoticon