Tuesday, October 13, 2015

GADIS LAMPU MERAH

Mau tidak mau ia harus percaya. Tak selamanya apa yang ia pikirkan akan sama dengan kenyataannya. Meski seluruh rumus rumus eksak telah digunakan dan hasilnya sama. Meski seluruh elemen di bumi telah setuju bahwa itu sama. Satu dua, kita memang tak pernah tau apa yang dipikirkaan orang lain. Kita terkadang lupa bahwa ada banyak alasan yang membuatnya menjadi berbeda. Dan kita terkadang kita hanyut dalam pemikiran kita hingga kita bersua pada  satu titik dimana orang menjawabnya dengan  bentuk yang berbeda, dan itu benar. Pada titik ini ia percaya.
Ribuan orang lalu lalang ditengah teriknya hari ini. Lampu lantas silih berganti diperempatan jalan. Suara klakson kendaraan sahut sahutan membentuk suara teriakan iblis.  Entah apa yang mereka kejar, tak ada yang bisa sabar menunggu semenit saja sang lampu merah. Bahkan mungkin bagi mereka sang lampu merah adalah iblis yang akan memakan rezeki mereka hari ini.
Hera keluar dari tempat berteduhnya. Dengan senyum kosong diangkatnya gitar untuk kesekian kalinya hari ini. Ia kembali mencoba memanfaatkan satu menit yang diberikan sang lampu merah untuk mangais rezeki.
“ misi bang sopir.”
Dengan jari jari kecilnya ia mulai memetik gitar membentuk rentetan melodi nan indah. Suara merdu terdengar dari bibir tipisnya. –ya, hanya itu yang bisa ia  digunakannya untuk menarik beberapa receh dari kantong penumpang–. Beberapa receh dan uang 2 ribuan terlihat masuki bekas bungkus permen yang dijadikanya tempat pengumpul rezeki.
“ mbak suaranya bagus. Jadi penyanyi aja.” celoteh satu penumpang
Sebuah senyuman terlihat dari wajah Hera yang terlihat sedikit kotor. Namun wajah cantik masih terlihat di dalamnya.
 Lampu merah barlalu Hera kembali ke perteduhannya untuk menunggu giliran berikutnya. Memang sudah menjadi lumrah bagi mereka ( para pengamen ) saling bergantian.
“ dapat berapa ra?”
“ lumayan ji.” Jawab Hera sambil menghitung duit dibungkus permenya
“ iya kau cewek, cantik lagi, pasti banyak terus. Lah aku... !@#!@#.” Jawab Aji sedikit kesal melihat duit yang diperolehnya hari ini.
“ apa sih...?” sebuah wajah bahagia terlihat diwajahnya.
Sembari menunggu giliran Hera kembali terhanyut dalam lamunannya, lamunannya untuk bisa jadi seorang penyanyi. Cita cita klasik yang hampir dimiliki seluruh pengamen sepertinya.
*************
Panas kota medan hari tak seperti biasanya, meski jarak sang surya hampir 150 juta kilometer, namun lidah lidahnya hari ini seakan ingin membakar setiap arwah umat manusia. Alfi tersenyum entah pada siapa, mungkin hanya sekedar penambah semangat untuk menjalani hari nan terik ini.
“ akhirnya sampai juga”
Setelah hampir 20 menit dalam angkot Alfi kembali bisa merasakan kehidupan. Terlihat pintu surga kecilnya tepat di depan mata. Seolah tak ingin melepaskannya langsung langkah besar terlihat.
“ buru buru kali fi.”
“ capek bu ! pengen tidur.” Jawab Alfi singkat.
Di tengah keletihannya hari ini Alfi tergolek dikasur kecilnya. Dipasangnya sebuah radio dengan volume rendah untuk telinganya sendiri. Tiba tiba matanya tertuju pada poster Cristiano Ronaldo didepannya. Alfi terkekeh sendiri, telah hampir setahun ia meninggalkan dunia gamenya mencoba memasuki dunia nyata.
Ditengah kesendiriannya Alfi teringat pada gadis lampu merah tadi. Suatu kejanggalan terlitas di otak kiri dan kanannya. Tak pernah ia menemui  pengamen seorang gadis, biasanya hanyalah gerombolan lelaki dengan celana jean sobek dan sedikit tato atau anting di telinganya.
“ kok cewek tadi ngamen? Kan masih banyak kerjaan lain?” benak Alfi
***************
Hujan turun dengan derasnya, setiap orang berlarian tak terkecuali Alfi, berusaha bersembunyi dari nikmat tuhan yang satu ini. Hanya sedikit yang terlihat tetap beraktifitas dengan jas plastiknya. Terdengar keluh kesah dari beberapa orang, mungkin bukan bermaksud tidak mensyukuri tapi hanya kesal karena akan banyak agenda terlewati. Entahlah
“ hujan..hujan !.............” benak Alfi.
Hampir setengah jam terkurung di halte mini itu, hujan mulai mereda, beberapa orang terlihat mulai melangkah untuk agenda berikutnya. Tetapi tidak untuk Alfi, karena toh ia harus menunggu angkot kesanyangannya. Mengkin akan memakan waktu hingga 15 menit lagi.
Dalam sisa sisa tetesan air hujan terlihat beberapa orang memasuki halte tempat penantian Alfi. Alfi tersentak, terlihat wajah yang tidak asing baginya, ya gadis itu. Gadis lampu merah yang ditemuinya kemarin. Spontan Alfi senyum, entah apa maksudnya, mungkin hanya sekedar bentuk keramahan.
“ bang, abang yang diangkot kemarin kan?” Hera melontarkan sepatah pertanyaan sambil mengeringkan badannya.
Alfi sedikit terkejut, terlihat keningnya sedikit mengkerut, mungkin keheranan, atau bingung, namun ada rasa senang dihatinya karena gadis itu masih mengingatnya.
“ kau kenal ra?” tanya Aji rada bingung.
“ ketemu pas lampu merah kemarin bang.” Jawab Alfi spontan.
“ awas ji ganggu aja.”  Potong Hera
Suasana langsung heboh karena tawa dari kawan Hera yang lain. Sedikit senyum juga terlihat dari bibir Alfi. Aji langsung pergi kesudut sambil membersihkan gitarnya.
“ nunggu angkot bang?” Hera membuka percakapan.
“ iya, kalo orang mbak kok disini?” jawab Alfi mencoba untuk ramah
“ o, lampu merah hujan bang, angkot kalo jam segini agak sulit bang. Tapi tunggu aja sapa tau  masih ada.”
Hari sudah hampir jam 18.00, hujan masih belum reda, Alfi masih terjebak dihalte kecil bersama pengamen yang lain, mereka memasuki dunianya masing masing, Alfi memasang headset untuk telinganya sendiri, sementara Hera dan kawan kawanya menyanyi beberapa lagu dengan diiringi gitar gitar mereka. Dalam dunianya kepala Alfi dipenuhi pertanyaan, pertanyaan tentang Hera atau tentang pengamen pengamen yang lain. Namun seperti ada membran penghalang, akan menjadi janggal baginya jika mempertanyakan hal tersebut, karena toh mereka bercakap hanya untuk basa basi.
Dalam penasaran dan kebingungan Alfi, Hera tiba tiba datang duduk kesampingnya.
“ makasih bang pujian kemarin.” Kata Hera membuka kebisuan.
“ o, ya memang bagus suaranya kok, oh ya kok ngamen.” Tanya Alfi memberanikan diri.
“ suka aja.” Senyum terlihat dari bibir Hera, menampakkan wajah cantiknya meski hari sudah hampir gelap.
“ suka, just?” Tanya Alfi bingung.
“ iya, suka aja” jawa Hera
( here tersenyum lagi )
Alfi masih bingung dengan apa  yang baru saja  ia dengar. Sebuah jawaban yang bukan harapannya.. Padahal Alfi berfikir bisa saja Hera  menjawabnya dengan cerita sedih atau mungkin cerita inspiratif, Tak habis pikirnya, ternyata kebingungannya akan Hera hanya diselesaikan dengan satu kata “suka”.
*************
Setengah jam sudah hampir Hera dan Alfi bercakap cakap, hujan mulai terlihat berhenti, angkot yang akan membawa Alfi pulang sudah berhenti didepanya, meski banyak hal yang masih belum bisa diterima akal pikiran Alfi. Namun  mau tidak mau ia harus menerimanya, karena tak semua orang berfikiran yang sama. Setiap orang akan menanggapi hal yang berbeda dengan cara berbeda.
Dengan langkah dan kepala penuh kebingungan Alfi memasuki angkot. Ingin rasanya Alfi mengahabiskan malam ini untuk mewawancarai Hera dan kawan kawanya yang lain. Namun angkot yang didepanya mungkin yang terakhir hari ini. Jika ia melewatkan angkot ini maka ia harus rela berjalan kaki menuju surga kecilnya. Diangkat Alfi tangan ke arah Hera dan pengamen yang lain. Senyum terlihat diwajah Hera, sebuah senyum yang sangat cantik memperlihatkan gigi gingsulnya. –ya, terlalu cantik untuk jadi seorang pengamen–.
***************
“ gimana lanjut atau kita balek?” tanya Aji
“ balek deh ji, hujan udah dingin ni.” Jawab Hera mengangkat gitarnya.
“ dingin, sini kupeluk.”
“ peluk? tu jono peluk.”
“Hahahah” tawa pecah dari kelompok pengamen kecil itu, ya sebuah kontraksi otot untuk mengurangi dinginnya suhu hujan malam ini.
Dalam langkahnya, kepala Hera penuh kebingungan. Bingung akan pertanyaan  pertanyaan orang yang baru saja ditemuinya barusan. Bingun dengan cara fikir orang tersebut. Bingung karena orang itu sulit menerima kalau ia menjadi pegamen sekarang ini karena ia suka jadi pengamen. Meskipun masih ada alasan lain mengapa ia menjadi pengamen. Namun baginya karena suka adalah alasan yang paling tepat untuk dikatakan.#

OLEH : SAFRUL EPENDI ( TEKNIK MESIN , UNIVERSITAS SUMATERA UTARA )

GADIS LAMPU MERAH
Mau tidak mau ia harus percaya. Tak selamanya apa yang ia pikirkan akan sama dengan kenyataannya. Meski seluruh rumus rumus eksak telah digunakan dan hasilnya sama. Meski seluruh elemen di bumi telah setuju bahwa itu sama. Satu dua, kita memang tak pernah tau apa yang dipikirkaan orang lain. Kita terkadang lupa bahwa ada banyak alasan yang membuatnya menjadi berbeda. Dan kita terkadang kita hanyut dalam pemikiran kita hingga kita bersua pada  satu titik dimana orang menjawabnya dengan  bentuk yang berbeda, dan itu benar. Pada titik ini ia percaya.
Ribuan orang lalu lalang ditengah teriknya hari ini. Lampu lantas silih berganti diperempatan jalan. Suara klakson kendaraan sahut sahutan membentuk suara teriakan iblis.  Entah apa yang mereka kejar, tak ada yang bisa sabar menunggu semenit saja sang lampu merah. Bahkan mungkin bagi mereka sang lampu merah adalah iblis yang akan memakan rezeki mereka hari ini.
Hera keluar dari tempat berteduhnya. Dengan senyum kosong diangkatnya gitar untuk kesekian kalinya hari ini. Ia kembali mencoba memanfaatkan satu menit yang diberikan sang lampu merah untuk mangais rezeki.
“ misi bang sopir.”
Dengan jari jari kecilnya ia mulai memetik gitar membentuk rentetan melodi nan indah. Suara merdu terdengar dari bibir tipisnya. –ya, hanya itu yang bisa ia  digunakannya untuk menarik beberapa receh dari kantong penumpang–. Beberapa receh dan uang 2 ribuan terlihat masuki bekas bungkus permen yang dijadikanya tempat pengumpul rezeki.
“ mbak suaranya bagus. Jadi penyanyi aja.” celoteh satu penumpang
Sebuah senyuman terlihat dari wajah Hera yang terlihat sedikit kotor. Namun wajah cantik masih terlihat di dalamnya.
 Lampu merah barlalu Hera kembali ke perteduhannya untuk menunggu giliran berikutnya. Memang sudah menjadi lumrah bagi mereka ( para pengamen ) saling bergantian.
“ dapat berapa ra?”
“ lumayan ji.” Jawab Hera sambil menghitung duit dibungkus permenya
“ iya kau cewek, cantik lagi, pasti banyak terus. Lah aku... !@#!@#.” Jawab Aji sedikit kesal melihat duit yang diperolehnya hari ini.
“ apa sih...?” sebuah wajah bahagia terlihat diwajahnya.
Sembari menunggu giliran Hera kembali terhanyut dalam lamunannya, lamunannya untuk bisa jadi seorang penyanyi. Cita cita klasik yang hampir dimiliki seluruh pengamen sepertinya.
*************
Panas kota medan hari tak seperti biasanya, meski jarak sang surya hampir 150 juta kilometer, namun lidah lidahnya hari ini seakan ingin membakar setiap arwah umat manusia. Alfi tersenyum entah pada siapa, mungkin hanya sekedar penambah semangat untuk menjalani hari nan terik ini.
“ akhirnya sampai juga”
Setelah hampir 20 menit dalam angkot Alfi kembali bisa merasakan kehidupan. Terlihat pintu surga kecilnya tepat di depan mata. Seolah tak ingin melepaskannya langsung langkah besar terlihat.
“ buru buru kali fi.”
“ capek bu ! pengen tidur.” Jawab Alfi singkat.
Di tengah keletihannya hari ini Alfi tergolek dikasur kecilnya. Dipasangnya sebuah radio dengan volume rendah untuk telinganya sendiri. Tiba tiba matanya tertuju pada poster Cristiano Ronaldo didepannya. Alfi terkekeh sendiri, telah hampir setahun ia meninggalkan dunia gamenya mencoba memasuki dunia nyata.
Ditengah kesendiriannya Alfi teringat pada gadis lampu merah tadi. Suatu kejanggalan terlitas di otak kiri dan kanannya. Tak pernah ia menemui  pengamen seorang gadis, biasanya hanyalah gerombolan lelaki dengan celana jean sobek dan sedikit tato atau anting di telinganya.
“ kok cewek tadi ngamen? Kan masih banyak kerjaan lain?” benak Alfi
***************
Hujan turun dengan derasnya, setiap orang berlarian tak terkecuali Alfi, berusaha bersembunyi dari nikmat tuhan yang satu ini. Hanya sedikit yang terlihat tetap beraktifitas dengan jas plastiknya. Terdengar keluh kesah dari beberapa orang, mungkin bukan bermaksud tidak mensyukuri tapi hanya kesal karena akan banyak agenda terlewati. Entahlah
“ hujan..hujan !.............” benak Alfi.
Hampir setengah jam terkurung di halte mini itu, hujan mulai mereda, beberapa orang terlihat mulai melangkah untuk agenda berikutnya. Tetapi tidak untuk Alfi, karena toh ia harus menunggu angkot kesanyangannya. Mengkin akan memakan waktu hingga 15 menit lagi.
Dalam sisa sisa tetesan air hujan terlihat beberapa orang memasuki halte tempat penantian Alfi. Alfi tersentak, terlihat wajah yang tidak asing baginya, ya gadis itu. Gadis lampu merah yang ditemuinya kemarin. Spontan Alfi senyum, entah apa maksudnya, mungkin hanya sekedar bentuk keramahan.
“ bang, abang yang diangkot kemarin kan?” Hera melontarkan sepatah pertanyaan sambil mengeringkan badannya.
Alfi sedikit terkejut, terlihat keningnya sedikit mengkerut, mungkin keheranan, atau bingung, namun ada rasa senang dihatinya karena gadis itu masih mengingatnya.
“ kau kenal ra?” tanya Aji rada bingung.
“ ketemu pas lampu merah kemarin bang.” Jawab Alfi spontan.
“ awas ji ganggu aja.”  Potong Hera
Suasana langsung heboh karena tawa dari kawan Hera yang lain. Sedikit senyum juga terlihat dari bibir Alfi. Aji langsung pergi kesudut sambil membersihkan gitarnya.
“ nunggu angkot bang?” Hera membuka percakapan.
“ iya, kalo orang mbak kok disini?” jawab Alfi mencoba untuk ramah
“ o, lampu merah hujan bang, angkot kalo jam segini agak sulit bang. Tapi tunggu aja sapa tau  masih ada.”
Hari sudah hampir jam 18.00, hujan masih belum reda, Alfi masih terjebak dihalte kecil bersama pengamen yang lain, mereka memasuki dunianya masing masing, Alfi memasang headset untuk telinganya sendiri, sementara Hera dan kawan kawanya menyanyi beberapa lagu dengan diiringi gitar gitar mereka. Dalam dunianya kepala Alfi dipenuhi pertanyaan, pertanyaan tentang Hera atau tentang pengamen pengamen yang lain. Namun seperti ada membran penghalang, akan menjadi janggal baginya jika mempertanyakan hal tersebut, karena toh mereka bercakap hanya untuk basa basi.
Dalam penasaran dan kebingungan Alfi, Hera tiba tiba datang duduk kesampingnya.
“ makasih bang pujian kemarin.” Kata Hera membuka kebisuan.
“ o, ya memang bagus suaranya kok, oh ya kok ngamen.” Tanya Alfi memberanikan diri.
“ suka aja.” Senyum terlihat dari bibir Hera, menampakkan wajah cantiknya meski hari sudah hampir gelap.
“ suka, just?” Tanya Alfi bingung.
“ iya, suka aja” jawa Hera
( here tersenyum lagi )
Alfi masih bingung dengan apa  yang baru saja  ia dengar. Sebuah jawaban yang bukan harapannya.. Padahal Alfi berfikir bisa saja Hera  menjawabnya dengan cerita sedih atau mungkin cerita inspiratif, Tak habis pikirnya, ternyata kebingungannya akan Hera hanya diselesaikan dengan satu kata “suka”.
*************
Setengah jam sudah hampir Hera dan Alfi bercakap cakap, hujan mulai terlihat berhenti, angkot yang akan membawa Alfi pulang sudah berhenti didepanya, meski banyak hal yang masih belum bisa diterima akal pikiran Alfi. Namun  mau tidak mau ia harus menerimanya, karena tak semua orang berfikiran yang sama. Setiap orang akan menanggapi hal yang berbeda dengan cara berbeda.
Dengan langkah dan kepala penuh kebingungan Alfi memasuki angkot. Ingin rasanya Alfi mengahabiskan malam ini untuk mewawancarai Hera dan kawan kawanya yang lain. Namun angkot yang didepanya mungkin yang terakhir hari ini. Jika ia melewatkan angkot ini maka ia harus rela berjalan kaki menuju surga kecilnya. Diangkat Alfi tangan ke arah Hera dan pengamen yang lain. Senyum terlihat diwajah Hera, sebuah senyum yang sangat cantik memperlihatkan gigi gingsulnya. –ya, terlalu cantik untuk jadi seorang pengamen–.
***************
“ gimana lanjut atau kita balek?” tanya Aji
“ balek deh ji, hujan udah dingin ni.” Jawab Hera mengangkat gitarnya.
“ dingin, sini kupeluk.”
“ peluk? tu jono peluk.”
“Hahahah” tawa pecah dari kelompok pengamen kecil itu, ya sebuah kontraksi otot untuk mengurangi dinginnya suhu hujan malam ini.
Dalam langkahnya, kepala Hera penuh kebingungan. Bingung akan pertanyaan  pertanyaan orang yang baru saja ditemuinya barusan. Bingun dengan cara fikir orang tersebut. Bingung karena orang itu sulit menerima kalau ia menjadi pegamen sekarang ini karena ia suka jadi pengamen. Meskipun masih ada alasan lain mengapa ia menjadi pengamen. Namun baginya karena suka adalah alasan yang paling tepat untuk dikatakan.#



This Is The Oldest Page


EmoticonEmoticon