Thursday, October 15, 2015

DIBAWAH TIANG BENDERA


bendera
Lihatlah sang bendera itu, dengan gagah ia berkibar dipuncak tertinggi negeri ini. Mengikat diri pada sabatang bambu yang telah uzur dimakan waktu. Berkibar menantang arah angin, seakan ia berteriak dengan lantang bahwa negeri masih berdiri.
Sejauh ini hanya itu yang kuingat dari pesan Pak Tobing, guruku waktu masih SD dulu. Pak Tobing memang sangat mencintai negeri ini. Tapi hanya negeri ini, tidak untuk pemerintahannya. Baginya pemerintahan ini tak lebih seperti seekor anjing yang berani menggit tuannya. Mencabik cabik daging orang yang telah memberinya tempat bernaung.
Hampir setiap hari mengkritik pemerintah, mencaci maki bahkan mengutuk para petinggi negeri yang tak pernah mensejahterkan rakyatnya. Ia selalu berkata bahwa petinggi itu adalah setan bermuka malaikat. Ketika pemilihan, mereka datang pada kita rakyat bodoh ini dengan sejuta iming iming. Rakyat kita yang bodoh juga dengan mudah begitu saja mempercayainya. Namun, setelah itu kemana mereka. Justru kita yang setiap hari harus berteriak pada gedung tinggi di pusat sana.
Aku sih tidak begitu heran mengapa ia membenci pemerintahan negeri ini. Orang tuanya adalah seorang pejuang ketika era kemerdekaan dulu. Namun apa yang diperoleh keluarganya, orang tuanya diculik ketika ia masih kecil karena sering mengkritik pemerintahan negeri yang baru merdeka kala itu. Aku mendengar itu dari para tetua kampung sini. Mungkin itulah caranya untuk mengenang orang dicintainya.
Dengan canggung aku berjalan memasuki pintu tua itu. Ukiran klasiknya seakan membawaku ke era zaman 80-an dulu. Seorang perempuan tua menyambutku, megantarku pada sebuah kursi rotan reot disudut rumah ini. Suara rengekan kecil terdengar ketika aku mendudukinya.
Kutatap seluruh ruangan ini, darahku berdesir cukup hebat. Entah mengapa, photo photo hitam putih yang tertempel di dinding itu seakan ingin membuat hati menangis karenanya.
“ silahkan diminum, adek kapan balik kesini” kata perempuan tua itu kepada ku.
“ Terima kasih, 2 hari yang lalu bu” jawabku
“ saya minta maaf tidak bisa hadir waktu pemakaman bapak dulu”
“ Ibu maklum, justru ibu senang kamu masih mau berkunjung ke rumah orang tua seperti ibu ini. Jarang ada anak muda yang mau berkunjung kerumah gurunya, apa lagi guru SD seperti ibu ini.”
“ saya sudah menganggap ibu dan bapak seperti orang tua saya sendiri. Banyak hal yang peroleh dari ibu dan bapak. Jika bukan karena jasa kalian saya bukanlah siapa siapa sekarang ini.”
Bu Tobing tersenyum, sungguh senyum yang menentram hati.
Aih, jika aku terkenang masa masa SD dulu, sungguh banyak sakit yang kuterima dari Pak Tobing. Bukan sakit hati, tapi sakit badan karena sering dihukumnya dibawah tiang bendera sekolah kami. Tapi waktu itu, tak pernah terpikir olehku bahwa ternyata sakit itulah yang bisa membawaku seperti saat ini. Semua kesalahan kami, Pak Tobing dengan senang hati menghukumnya, tanpa ragu ia akan berkata.
“ kalian laki-laki. Laki laki tak pernah mengeluh rasa sakit. Rasa sakit membuktikan bahwa kalian masih hidup”
Hingga suatu ketika, saat itu kami sedang belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Suasana kelas begitu gaduh. Semua sibuk mengulang-ulang hapalan nama-nama pahlawan yang ditugas Pak Tobing. Katanya,
“ Kalian hapal nama dan wajah pahlawan ini. 20 menit lagi bapak balik, bapak tanyai satu satu.”
Dimataku, waktu itu Pak tobing tak lebih seperti seorang mandor yang taunya hanya menyuruh bawahannya.
“ Bapak itu tak hapal pun itu” Kataku pada teman disampingku.
“ Saya dengar itu.”
Sungguh kaget aku mendengar suara itu. Aih, itu adalah suara Pak Tobing. Ini belum cukup 20 menit, Bagaimana ia balik secepat itu. Sudahlah ini adalah akhirku hari. Aku harus mempersiap tenaga untuk tiang bendera hari ini.
“ Ari, pergi kebawah tiang bendera itu, beri hormat kesetiap yang lewat.” Perintahnya denga ketus
“ Kalian semua, kalian tau kenapa bapak meminta untuk menghapal nama-nama pahlawan ini. Kali tau berapa banyak pengorbanan yang telah mereka berikan. Mereka tak meminta satupun balasan dari kita. Dengan hati ia menyerahkan dirinya untuk negeri ini. Itu semua karena cintanya untuk kita, penerus masa depan negeri ni. Terus apa yang telah kalian berikan untuk mereka. Tak ada. Maka hapalkan saja nama mereka, setidaknya itulah bentuk terima kasih kita untuk mereka.”
Waktu itu aku tak pernaah mengerti maksud bapak itu. Bagiku para orang yang mereka sebut pahlawan itu berkorban yang karena mereka terpaksa. Pengorbanan mereka tak lebih hanya untuk bertahan hidup. Namun 12 setelah itu baru aku sadari betapa besar pengorbanan mereka. Besarnya cita-cita dan semangat mereka untuk membentuk Negara merdeka ini. Tapi saying kita sebagai penerusnya tak menjaga tekad dan semangat mereka.
Pagi ini terasa sangat dingin, angin terasa berjalan begitu lambat. Namun ia masih sanggup untuk memaksa tubuh ini sesekali menggigil. Aku berjalan kearah barat, mengikuti langkah riang anak kecil menuju sekolahnya. Aku tersenyum, mungkin aku dulu seperti mereka.
Hampir 15 menit sudah aku berjalan. Hingga akhirnya aku tiba di gedung putih tua itu. Taka da yang berubah dari gedung itu. Hanya cat dan pagarnya saja yang terlihat baru. Sisanya masih sama. Pohon itu pun masih ada. Pohon tempat kami bermain guli ketika istirahat dulu. Bahkan tiang bendera itu pun masih disitu. Tiang bendera yang menjadi saksi kami disini.
“ Hallo, ari bukan?”
“ Ia paman.”
“ Waduh, lama tak jumpa, sekarang udah jadi hebat.”
“ Wah, bapah bisa saja. Hahaha.”
Ini paman samin, penjual gorongan di depan sekolah kami. Tenyata dari aku SD sampai sekarang ia masih berjualan disini. Jualannya pun masih sama, pisang goring, tahu, tempe, dan lontong porsi anak SD. Hanya tempatnya yang sedikit terlihat lebih besar.
Aku menggeleng, masih tak terpikir oleh ku bisa bertemu paman ini. Ia adalah salah satu saksi bagaimana kami dihukum Pak Tobing dibawah tiang bendera itu.
“ Lihat tiang bendera itu, Sejak kalian disini, baru 2 tahun belakangan ini terasa berbeda.” Kata paman Samin
“ kenapa seperti itu paman?”
“ Dulu, waktu Pak Tobing masih mengajar disini, setiap hari tiang itu akan selalu menjadi tempat paling mengerikan bagi murid murid itu. Kalian juga korbannya bukan.”
Aku tertawa,
“ Paman bisa saja, tapi memang betul paman. Dulu sekolah tak akan menyenangkan jika tidak pernah berdiri dibawah tiang itu. Pak Tobing begitu keras, tidak peduli perempuan atau laki laki ia akan senang hati menyuruhnya.”
“ Tapi paman heran, meski si Tobing itu keras, tetap saja banyak murid yang senang padanya.”
“ Mungkin, karena keikhlasannya dalam mengajar paman. Bapak itu, Tak pernah pandang bulu, ia dengan ikhlas mengajar kami semua. Terutama tentang pengabdian untuk negeri ini.”
“ Awalnya, Paman kira Si Tobing itu tak lebih dari Orang yang benci di lahirkan di Negeri ini. Tapi lama lama bercerita dengannya bapak sadar, Ia begitu mencintai Negeri ini, makanya ia ingin setiap muridnya tak menjadi pemimpin kita sekarang yang sibuk untuk dirinya sendir. Walaupun caranya agak aneh, seperti menghormat pada bendera.”
“ Termasuk menghapal nama Pahlawan sebagai tanda terima kasih.”
“ Hahaha, kamu bisa saja ari.”
Hari ini, selepas berjumpa dengan Paman Samin, rasa hormat makin bertambah pada Pak Tobing. Ia ternyata tak berubah sedikit pun. Ia masih tetap menanamkan rasa cinta pada negeri ini untuk murid muridnya, bahkan sampai masa pensiunnya.
“ Bapak menyuruh kalian berdiri di bawah tiang bendera itu, bukan karena Bapak membenci kalian atau karena senang menghukum kalian. Bapak hanya ingin kalian sadari susah payahnya mereka menaikan bendera dan hanya setinggi itu. Maka tanamkan dalam diri kalian bahwa kalian akan menaikannya lebih tinggi lagi dari meraka, kalau bisa kepuncak tertinggi bumu. Buat mereka bangga. Buat para pahlawan kita bangga.” Kata yang selalu disampaikannya sebelum menghukum kami


EmoticonEmoticon